Thursday, October 8th, 2015 at 6:16 am
Irfanuddin Wahid Marzuki
Abstract. Market is a place where buyers and sellers make their interactions, and it has been around since the period of ancient Bali. There is an inscription which indicates several technical terms referring to selling and purchasing activity in a market. This article discusses the result of a study on 16 Balinese inscriptions published during 882 to 1023 AD. These inscriptions provide an understanding that the Balinese do not interact only among themselves, but also with merchants from other places. They sell daily necessities such as agricultural and plantation products, crafts and livestock. Marketing of products is carried out by using means of transportation or manually, which was supervised by officials of trade.
Keywords: market, Bali Kuna, inscriptions, merchandise, means of support, trade officials
Source: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, p. 282-294
Email: wd_546@yahoo.co.id
Thursday, October 8th, 2015 at 6:14 am
Irfanuddin Wahid Marzuki
Abstrak. Pasar adalah tempat di mana pembeli dan penjual melakukan interaksi mereka dan telah ada sejak zaman kuna Bali. Ada prasasti yang menunjukkan beberapa istilah teknis yang mengacu pada aktivitas penjualan dan pembelian di pasar. Tulisan ini membahas hasil studi pustaka terhadap 16 prasasti Bali yang diterbitkan antara 882 Masehi sampai dengan 1023 Masehi. Kajian prasasti ini menghasilkan pemahaman bahwa masyarakat Bali tidak hanya berinteraksi di antara mereka sendiri, tetapi juga dengan penjual dari tempat lain. Mereka menjual kebutuhan sehari-hari seperti produk pertanian dan perkebunan, serta kerajinan dan ternak. Pemasaran produk dilakukan dengan ataupun tanpa sarana transportasi, yang diawasi oleh pejabat-pejabat perdagangan.
Kata kunci: pasar, Bali Kuna, prasasti, barang dagangan, sarana pendukung, pejabat perdagangan
Sumber: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, hlm. 282-294
Email: wd_546@yahoo.co.id
Thursday, October 8th, 2015 at 6:12 am
Hasanuddin
Abstract. The research in Sinjai was carried out in the toponymy areas of the small kingdoms of Lamatti, Tondong, and Bulo-Bulo, which during the 16th century joined in an alliance called Tellu Limpoe. The research was conducted by using an inductive-analytic approach and employing survey and test-pit techniques for data collecting. Most findings are potshard and ceramic fragments from various dynasties, besides dakon stone and mortar stone. This article discusses the determination of relative chronology in the context of cultural history based on the interpretation of the three sites. The results of this study provide the understanding that the three sites show the dynamics life which varies between household activities, religious, subsistence, and trade. Additionally, we know also that the settlements in Sinjai were formed due to its geographical factors which consist of hills and mountains.
Key words: Sinjai, Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo, Tellu Limpoe, pottery, ceramics, dakon stone, mortar stones, settlements, environment
Source: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, p. 264-281
Email: udin.balar@gmail.com
Thursday, October 8th, 2015 at 6:10 am
Hasanuddin
Abstrak. Penelitian di Sinjai dilakukan pada area dengan toponimi bekas Kerajaan Lamatti, Tondong, dan Bulo-Bulo, yang tergabung dalam aliansi yang disebut Tellu Limpoe pada abad ke-16 Masehi. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan induktif-analitik dengan pengumpulan data melalui teknik survei dan lubang uji. Sebagian besar jenis temuan adalah gerabah dan fragmen keramik dari berbagai dinasti. Temuan lain adalah batu dakon dan lesung batu. Tulisan ini membahas penentuan kronologi relatif dalam konteks sejarah budaya berdasarkan hasil interpretasi dari ketiga situs. Hasil kajian ini memberikan pemahaman bahwa ketiga situs tersebut menunjukkan dinamika hidup yang bervariasi antara kegiatan rumah tangga, agama, subsistensi, dan perdagangan. Selain itu, diketahui pula bahwa pemukiman yang terbentuk di Sinjai dilandasi faktor geografis yang terdiri atas perbukitan dan pegunungan.
Kata kunci: Sinjai, Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo, Tellu Limpoe, gerabah, keramik, dakon, lesung batu, pemukiman, lingkungan
Sumber: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, hlm. 264-281
Email: udin.balar@gmail.com
Thursday, October 8th, 2015 at 6:07 am
Agus Yulianto
Abstract. Madihin is one of the forms of Banjarese oral literature. Originally, madihin was an art that is destined for the nobles or the royal family. However, in the course of time, madihin has become a folk-art. This article discusses the origins madihin, its substance, function, instruments, and the value contained in madihin. The result of this study is the comprehension of an art which contains advices on many aspects of life. Despite the setback, the actor of madihin constantly seeks innovation and creativity in order to keep the arts survives among the community, for example by using Indonesian instead of Banjarese as language of communication.
Key words: madihin, Banjarese oral literature, arts, history, functions, values, Banjarese language, Indonesian language
Source: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, p. 257-263
Email: agusyulianto.agus@ymail.com
Thursday, October 8th, 2015 at 5:53 am
Agus Yulianto
Abstrak. Madihin adalah salah satu bentuk sastra lisan Banjar. Madihin pada mulanya merupakan kesenian yang diperuntukkan bagi kalangan bangsawan atau keluarga raja. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kesenian ini menjadi kesenian rakyat. Tulisan ini membahas asal-usul madihin, substansi, fungsi, instrumen, dan nilai yang dikandung madihin. Hasil kajian ini adalah pemahamantentang madihin sebagai kesenian yang banyak mengandung nasihat mengenai banyak aspek kehidupan. Meskipun pernah mengalami kemunduran, pelaku madihin senantiasa mengupayakan inovasi dan kreativitasnya agar kesenian ini tetap hidup di masyarakat, misalnya dengan media penyampaian bahasa Indonesia.
Kata kunci: madihin, sastra lisan Banjar, kesenian, sejarah, fungsi, nilai, Bahasa Banjar, Bahasa Indonesia
Sumber: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, hlm. 257-263
Email: agusyulianto.agus@ymail.com
Thursday, October 8th, 2015 at 5:50 am
Marlon NR Ririmasse
Abstract. For the people of the Southeast Moluccas, a boat has always been more than just a seagoing vessel. The boat is the key word to describe the dominant theme in engineering diverse cultural property in the Southeast Moluccas. This article discusses the phenomenon from the perspective of construction and materialization of social identity. The boat has become a medium of non-verbal communication as a means for the people to negotiate and communicate their social identity. Hence, the boat symbolism has been adopted as the blue print to construct the way society is organized in the Southeast Moluccas.
Keywords: boat, symbolism, social identity, Southeast Molluccas, communication, blueprint
Source: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, p. 245-256
Email: ririmasse@yahoo.com
Thursday, October 8th, 2015 at 5:47 am
Marlon NR Ririmasse
Abstrak. Bagi masyarakat di Maluku Tenggara, perahu memiliki arti lebih daripada sekedar moda transportasi air. Perahu adalah kata kunci untuk menggambarkan tema dominan dalam merekayasa beragam benda budaya di Maluku Tenggara. Tulisan ini membahas fenomena dari perspektif konstruksi dan materialisasi identitas sosial. Perahu telah menjadi medium komunikasi non-verbal bagi masyarakat sebagai sarana untuk menegosiasikan dan mengkomunikasikan identitas sosial mereka. Dengan demikian, simbolisme perahu telah diadopsi sebagai cetak biru untuk membangun cara penyelenggaraan masyarakat di Maluku Tenggara.
Kata kunci: perahu, simbolisme, identitas sosial, Maluku Tenggara, komunikasi, cetak biru
Sumber: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, hlm. 245-256
Email: ririmasse@yahoo.com
Thursday, October 8th, 2015 at 5:45 am
Nugroho Nur Susanto
Abstract. Exoticism implies a distinctive charm, evocative to be explored, to be understand further, because of its peculiar elements. By viewing the nature of Kalimantan, such characteristics are what are caught by the eyes of the perceiver. These natural resources are also being the inspiration to create the unique art of the Dayak community, which eventually became the ‘documentation’ of their existence in Kalimantan. This paper discusses the harmonious relationship between nature, human, arts, and the measures taken to conservesuch unique characteristics before commercializing it. This discussion led to the idea of constructing an eco-cultural-based development, which will be the specific representation of Kalimantan.
Keywords: exoticism, nature, Kalimantan, Dayak, Dayak arts, cultural environment, historical features, integrated conservation
Source: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, p. 236-244
Email: nugi_balarbjm@yahoo.com
Thursday, October 8th, 2015 at 5:43 am
Nugroho Nur Susanto
Abstrak. Eksotisme mengandung pengertian memiliki daya tarik yang khas, menggugah untuk didalami, dimengerti lebih jauh, karena unsur kekhasannya itu. Ini adalah karakteristik yang tertangkap seorang pengamat dalam memandang alam Kalimantan. Sumber dayaalam ini pulalah yang menginspirasi terciptanya seni unik masyarakat Dayak yang akhirnya menjadi ‘dokumentasi’ eksistensinya di Kalimantan. Tulisan ini membahas tentang hubungan harmonis antara alam, manusia, dan seni, serta langkah-langkah pelestarian karakter tersebut sebelum mengkomersialisasikannya. Pembahasan ini membuahkan gagasan tentang pembangunan yang berwawasan eko-budaya yang menjadi ikon spesifik Kalimantan.
Kata Kunci: eksotisme, alam, Kalimantan, Dayak, seni Dayak, lingkungan budaya, fitur sejarah, konservasi terpadu
Sumber: Naditira Widya, Vol. 4 No. 2 Oktober 2010, hlm. 236-244
Email: nugi_balarbjm@yahoo.com